Rabu, 12 Maret 2008

OTSUS Perjuangan ATAU Kepentingan

Saya tergelitik untuk ambil bagian dalam diskusi terkait dengan perjuangan Otonomi Khusus (OTSUS) khususnya pencoretan anggaran perjuangan Otsus oleh Menteri Dalam Negeri yang didedahkan oleh bang drh. H. Chaidir, MM Ketua DPRD Riau dikolom Opini Riau Pos 19 Maret 2007.

Mengapa dana perjuangan Otsus harus diambil dari APBD? Sebuah pertanyaan yang menggelitik hati saya pada saat mendengar perdebatan panjang terhadap masalah ini. Sepertinya perjuangan ini kurang bermakna, terasa tidak totalitas, tidak segenap jiwa, tidak menggelora, tidak heroik dan memancing timbulnya keraguan dan pertanyaan. Mengapa kembali kita harus memakan hak-hak rakyat atas nama perjuangan yang katanya untuk rakyat. Bermilyar-milyar uang rakyat yang dititip Tuhan di APBD tersangkut ditempat yang tidak ada rakyatnya, sehingga tidak menyentuh dan tidak tepat sasaran dan akhirnya memancing kerusuhan. Contoh pengalokasian uang 2 milyar yang memicu seteru di Laskar Melayu? Ataupun rencana pengalokasian dana PON, Otsus, FFI dan banyak lagi.

Sebagai anak jati Riau saya malu dan ingin mengajak tokoh Riau belajar dengan Sumatra Barat. Disana tokoh-tokohnya berjuang untuk memajukan negerinya dengan berusaha menghindari ataupun mengorek kantong APBD, mereka bersatu padu dari lembaran-lembaran uang seribu rupiah dengan “Gebu Minang” membuat kampungnya menjadi terpandang. Ini dibuktikan lagi pada saat Istana Pagaruyung dilapan sijago merah, kembali semangat perjuangan itu dibuktikan dengan nilai-nilai heroik dan penuh pengorbanan.

Mungkin kita juga perlu belajar dengan Sumatra Utara. Kalau tokoh-tokoh Riau membangun SMU Plus dengan hanya bergotong royong semangat tapi sebagian besar uang-nya dari APBD dan sumbangan pengusaha yang katanya merampok SDA Riau. Disisi lain sekolah unggul tumbuh bagaikan jamur diberbagai pelosok tanah Batak dan perkampungan Tapanuli Selatan. Setiap tokohnya pulang kampung membangun negeri dengan modal sendiri. Sehingga hak-hak rakyat yang sudah jelas di APBD tidak perlu dikurangi ataupun disunat untuk kegiatan-kegiatan yang belum tentu manfaatnya dan dapat dirasakan langsung oleh rakyat.

Andaikan kita serius berjuang memajukan Riau, pasti sudah lama kemiskinan, kebodahan dan ketertinggalan wilayah kaya ini teratasi. Sebab masing-masing tokoh kita pernah dipuncak kejayaan yang bisa memberikan makna bagi daerah. Ada tokoh kita pernah dan katanya sedang jadi menteri, putra terbaik kita sudah 2 jadi gubernur, seluruh bupati dan walikota putra daerahnya sendiri, ada tokoh kita dijajaran puncak perusahaan raksasa di Riau maupun di Jakarta, ada tokoh kita yang namanya sudah mendunia dan tidak sedikit Riau melahirkan pengusaha kaya karena usahanya dibumi Lancang kuning ini.

Tapi mengapa Riau masih terus merengek-rengek seperti anak manja yang belum pernah dewasa. Lalu mengamuk dan merajuk dan mengumbar-umbar “Amuk” yang hampir tidak pernah nyata. Riau ibarat anak bujang yang mau kawin dan pisah rumah dengan orang tuanya. Sebagai anak yang mau kawain dan merasa dewasa menuntut agar diberikan hak mandiri (Otsus), tapi sudah sombong disisi lain merengek-rengek minta uang (Dana Perjuangan Otsus) kepada orang tua karena harta orang tua juga terkandung hak anak (APBD). Pasti orang tua, tetangga dan teman sianak ketawa, melihat tingkah anak manja yang sok dewasa, ingin mandiri tetapi sesungguhnya penakut dan tidak punya keberanian. Semua orang akan bangga jika anak itu kawin dan pindah rumah dengan keringat sendiri dan menolak pada saat orangtuanya memberikan bantuan pindah dan sewa rumah. Kalau anak bisa membuktikan diri sebagai prioa dewasa, mandiri, bermarwah dan berharga diri, siapa orang tua yang tidak akan bangga dan memberikan anaknya modal usaha ataupun warisan berlipat ganda.

Kembali ke Otsus, gerakan ini harus diuji apakah benar-benar menyuarakan aspirasi, harapan dan keinginan masyarakat Riau. Jika benar, bangun gerakan bersama sehingga segenap potensi yang ada dikerahkan untuk merebutnya termasuk bagaimana menggalang dana dari masyarakat. Tentunya dimulai dari tokoh-tokoh yang menggerakkan ini, pejabat yang pasti memiliki kekuasaan, kekayaan dan kemampuan. Kalau pemikiran minta saja ke dosen diperguruan tinggi, kalau semangat serahkan saja ke adik-adik mahasiswa, kalau massa serahkan kepada pemuda yang memang lagi banyak menganggur dan tidak ada kerja.

Keberadaan tokoh-tokoh yang masih berkuasa & pernah berkuasa, tokoh-tokoh lintas suku dan agama dalam gerakan ini seharusnya mampu berkalaborasi sehingga menjadi sebuah gerakan yang besar, kuat, dihormati, disegani dan berharga diri. Saya yakin Tim Pejuang Kita mampu sebab disana ada orang Melayu yang selalu ragu-ragu tapi punya semangat menggebu dan mudah dipanasi, ada masyarakat Batak Riau yang kompak dan berani, ada masyarakat Minang Riau yang tepat dalam membuat perhitungan, ada Jawa Riau yang ulet dan tentunya bisa meyakinkan saudaranya yang ada di Jakarta dan berbagai potensi yang seharusnya bisa diberdayakan.

Ini perlu kita renungkan bersama sebab kita tentu tidak ingin dijengkal orang, sebab penghamburan uang untuk perhelatan besar bernama Kongres Rakyat Riau (KRR) II yang katanya mensepakati opsi merdeka, yang mana tokoh-tokoh yang hadir di KRR II sebagian juga tampil kembali di deklarasi Otsus ternyata mencerminkan kesia-siaan kalau pada akhirnya kita tidak menghormatinya dan ketakutan dengan konsekuensinya jika diteruskan.

Katanya marwah dan harga diri bagi Riau diatas segalanya, katanya Riau sangat menjunjung tinggi dan menghormati demokrasi, katanya mulut adalah cermin diri, katanya orang munafik harus dijauhi, katanya nilai adat dan norma agama yang dijunjung tinggi? Untuk apa kita menghabiskan uang rakyat untuk KRR, Deklarasi, Seminar dan Diskusi kalau pada akhirnya diingkari.

Saya yakin dan percaya bahwa gerakan yang sebagian besar dimotori oleh tokoh politik ini bukan untuk kepentingan kampanye, mencari massa ataupun menyonsong pilkada dan pemilu. Sudah saatnya Riau dihormati sudah saatnya Melayu dijunjung tinggi, tidak lagi dipakai sebagai hiasan, alasan dan alat mencari kekayaan dan kekuasaan. Sudah saatnya kita berjuang bersama tanpa memandang suku, adat, ras dan agama menyatukan segenap potensi, berkalaborasi dan berjuang benar-benar untuk Riau tercinta ini.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Riau bukan merengek atau merajuk, penzaliman terhadap Riau itu memang benar-benar nyata. Kita tidak saja dizalimi dengan pembagian DBH migas, DIPA, DAU, tapi juga infrastruktur! Pendidikan juga!

Mengapa dana otsus berasal dari APBD? Ya siapa lagi lah pak yang mahu memberikan perhatiannya kepada gerakan ini?? Provinsi ini provinsi pendatang, masyarakatnya pada cuek semua, yang ada di fikirannya hanya bagaimana cara meraup keuntungan sebanyak-banyaknya di negeri orang. Siapa yang mau peduli dengan nasib orang melayu kalau bukan dari melayu sendiri??
Atau mesti ada gerakan anarkis dulu??! Seperti halnya 2 provinsi lain yang baru dapat otsus setelah ada konflik hebat berkepanjangan di tanahnya, saya yakin dana-dana otsus yang mereka itu adalah "dana perang" melawan republik sendiri.

Dan sekali lagi, itu bukan ciri khas melayu Riau yang beradat dan santun dalam demokrasi.

APBD itu lah fungsinya pak, membangun infrastruktur termasuk sekolah-sekolah, dan APBD itu memang hak Riau.

Dan manfaat otsus sendiri sebenarnya justru akan bergulir dampak positif ke seluruh masytarakat luas, misalnya, kita gak perlu harus tunggu-tunggu "sinyal" dari pusat , contoh saja soal kelistrikkan. Sekarang lihat , sudah mati lampu saja baru mereka sadar, birokrasi di pusat ini terkenal sangat berbelit-belit dan listrik dimonopoli pula. Bagaimana daerah bisa tanggap cepat dan berkembang???
provinsi yang sebesar 88 ribu km persegi (dengan kepadatan penduduk sangat rendah, hanya 56 orang setiap km persegi nya), menuntut biaya pembangunan infrastruktur yang tidak sedikit.


Walaupun sudah Otda, Riau cuma dapat 15% persen saja, itupun belum dipotong2 sama pajak ini itu dan parahnya lagi PUSAT masih NUNGGAK sampai 4 TRILIUN! :(

Daripada menjadi kaya dengan mengemis , peminta-peminta di kampung negeri orang di tepi-tepi jalan dan membangun rumah besar di kampung.
Itu bukan ciri melayu sejati. Melayu punya harkat dan martabat serta harga diri.


Berbicara mengenai SUMBAR, itu bukan karena SUMBAR pandai melobi atau sekadar berjuang sendiri ... Saya yakin 100% soal itu. Itu karena banyak tokoh2 negara dan pejabat2 negara ini yang berasal dari SUmbar (artisnya juga).... Jadi wajar, ada secercah SUBJEKTIVITAs dalam pengambilan keputusan di Jakarta. Udah rahasia umum, "rasa kedaerahan" mengalahkan segalanya dalam pengambilan keputusan di Jakarta. makanya Jawa terus kan yang dapat banyak, proyek di Jakarta. Begitupula dengan proyek infrastruktur di sumbar sana.
atau tahukah sejarah kenapa bangunan2 sekolah lebih banyak didirikan di sumbar ketimbang di Riau pada waktu provinsi Sumatera Tengah dulu?? Dan uang-uang hasil perikanan rakyat Bagansiapi-api untuk membangun Unand itu??

Dan di Sumatra bagian Utara, yang dapat proyek besar APBN kan cuman Sumbar dan ACEH (itu juga karena habis tsunami) Begitupula dengan Sumbar. Sekarang ada gempa pula, makin banyak alasan lah untuk menurunkan dana ke sana.

Melihat satu contoh kurang cukup, sudah banyak kok kejadiannya Riau dianaktirikan... dan itu begitu nyata. Kemampuan melobi itu alasan yang terlalu dibuat-buat...


Ingat loh, yang ORBA lakukan ke provinsi kaya SDA (termasuk KALTIM dan PAPUA) itu bukan sebatas penghambatan pembangunan infrastruktur saja. Tapi, juga pembangunan SDM ?? Nah, untuk SDM kalkulasikan saja sendiri, ORBA berkuasa selama 32 tahun !!! Itu berapa kali generasi Wajib belajar 9 tahun, coba ?? Berapa generasi yang sudah dibuat mundur di Riau ???

Sekarang kita baru punya, satu generasi yang didikan Era OTDA. itupun belum cukup untuk mengejar ketertinggalan Riau. Pendidikan memang investasi jangka panjang....

Nyatanya setelah OTDA bergulir, sekarang kualitas SD SMP dan SMA di Riau baru mulai merata sampai ke Kabupaten2 baru sekarang-sekarang saja, dulu cuman Pekanbaru saja yang mampu berprestasi